Jumat, 10 Oktober 2014

#8 Journey - ...and Justice is real ?

Sejak kedatangannya di kediaman paman tercinta, seringkali si Fulan merenung, mungkin ini kesempatan untuk selalu membawa manfaat, kemaslahatan, kedamaian, kebahagiaan atau paling tidak memberikan keceriaan di manapun dia berada. Berusaha ramah dan berprilaku baik pada lingkungan sekitar agar mereka berprasangka baik pula padanya dan mau mnerimanya sebagai saudara. "Ya, aku harus berbuat sesuatu...", bergumam si Fulan

Dan sekarang, pamannyalah yg sedang sangat membutuhkan bantuan, di belakang rumah ada sepetak tanah dengan pohon singkong tumbuh tidak terawat. Maka esok harinya, pagi-pagi sekali, dia ambil singkong serta daun yg layak panen dari kebun. "Kalau kujual ke pasar, hasilnya Insya Allah bisa utk menyambung hidupku dan paman beberapa hari ke depan...", pikirnya.

Si Fulan pun membawa hasil panennya ke pasar. DI tengah perjalanan di menjumpai seorang pria, bersih rapi, gagah… kalau dilihat dari pakaian yang dikenakannya… “Ah.. ternyata dia suadara seimanku…”, hatinya kegirangan. Tapi sedang apa dia? Di depannya tampak seorang laki-laki separuh baya, memakai kaus kutang lusuh, topi caping dikepala dan cangkul di tangannya.. seorang petani..? kenapa raut mukanya sedih tertunduk dan ketakutan..? Rupanya si pria sedang memarahinya..!

“Ayo, mana janjimu??!” hardik si pria.
“Maaf pak, hari ini saya belum punya..”, jawab si petani terbata.
“Belum punya ?, kan kamu sendiri yang janji hari ini mau bayar?!”, menghardik si pria.
“Iya maaf sekali lagi, saya minta tempo satu hari lagi pak, saat ini istri saya sakit, saya hendak ke puskesmas buat mengantar istri berobat, saya sisihkan untuk bayar bunganya dulu ya pak….”, memohon si petani.

“Bunga..???!”, Fulan terperanjat. Saudaranya itu ternyata seorang rentenir yang meminjamkan uang dengan bunga, dan bunga itu cukup tinggi, sehingga si petani itu tidak sanggup membayarnya. Si Fulan tertunduk sedih. “Ya Allah, ampunilah kami, yang tidak bisa membedakan mana rezeki yang halal dan mana yang haram… “. Saudara seimannya sendiri yang seharusnya menjadi contoh bagaimana berakhlak mulia terhadap sesama, malah justru mengoyak ajaran agamanya sendiri, menodai kesucian nilai-nilai hidup yang telah diajarkan kepadanya.

Disadari atau tidak, perbuatannya yang seperti itu justru yang akan menggoyahkan sendi-sendi agamanya yang seharusnya dia tegakkan setinggi-tingginya..? Si Fulan hanya berharap, seandainya saudaranya itu tidak bisa menjadi penegak, tapi paling tidak janganlah menjadi orang yang akan menghancurkan kehormatan ajaran agamanya dari dalam. Karena itu akan lebih menyakitkan dan berbahaya dibandingkan ancaman yang datang dari luar.

Minggu, 05 Oktober 2014

#7 Journey - No Action Talk Only

Perjalanan pun berlanjut.... sampai di kota tempat pamannya tinggal...
seperti ada sesuatu yang lain di sini..? Tampaknya suatu lingkungan yang amat menjunjung tinggi kebersamaandan dan solidaritas, terlihat dari begitu banyaknya slogan-slogan tertempel di dinding, spanduk-spanduk pingir jalan, bertuliskan 'SEMANGAT BERBAGI!', 'KITA SEMUA BERSAUDARA', 'DUKAMU ADALAH LUKAKU...' dan ... lihat, banyak pemuda-pemudi yang sedang menyebarkan pamflet dan dukungan kepedulian terhadap korban bencana alam ! Wah, tempat ini hebat!

Tapi... sebentar.., begitu dia sampai di kediaman pamannya, apa yang dia lihat..? Seorang lelaki tua yang sudah mulai renta, berdiri gemetar menyambutnya di pintu, kedua tangan keriputnya bertumpu pada sebatang tongkat kayu, bajunya lusuh, abu-abu kecoklatan karena kotor... sorot matanya nanar menatapnya... Pamannya lapar...

Lapar...? Tanya FUlan dalam hati... Bukankah disekelilingnya dia memiliki saudara yang akan peduli dengan keadaanya? Kemana mereka semua? Sibuk berkampanye tentang kepedulian sosial?

Si Fulan menghela nafas panjang... dia merasa berdosa... Seandainya dia dan setiap pribadi muslim yang lain sadar akan kewajiban rutinnya 'berbagi' sedekah untuk setiap keping rezeki yang dia dapat. Tak akan ada yang berdiri dengan perut lapar seperti bapak tua di ujung jalan tadi.Tak akan ada anak menangis minta susu ke ibunya yang hanya mampu memberi air putih ke bayinya. Tak akan ada pengurus panti yang kepanasan berkeliling kampung mencari dana untuk kelangsungan hidup anak yatim yang menjadi tanggungannya.

Si Fulan merogoh kantung bekalnya..., ada sepotong roti sisa sahur tadi malam. Mukanya berseri, senang karena bisa memberi sedikit obat sekedar menunda lapar untuk pamannya, dan Fulan memutuskan untuk tinggal beberapa saat di rumah sang paman hingga membaik kondisinya.

Bukankah, bukan berapa banyak jumlah yang bisa kita sedekahkan...? Melainkan seberapa besar bagian dari semua kekayaan yang kita miliki yang akan membuatnya berarti di Mata Tuhannya...?